Oleh Mishbah KZ
Kemenangan Tanpa Kekerasan
Dimuat di Radar Semarang, Jawa Pos, 23 Juli 2013
Ramadhan
merupakan madrasah anti kekerasan (nonvilonce). Ramadhan menempa
individu untuk memuasakan potensi negatif panca indera yang merugikan dirinya
dan orang lain. Oleh karena itu, puasa sesungguhnya adalah memuasakan diri dari
laku kekerasan kepada yang lain, bukan semata menahan diri dari lapar dan
dahaga. Orientasi puasa ada dua: (1) sah dan (2) kualitas. Jika orientasi puasa
terbatas pada tujuan sahnya puasa, maka menahan dari yang membatalkan puasa
sudah cukup. Akan tetapi, jika orientasinya adalah pencapaian kualitas puasa,
maka puasa harus mampu menjamin
kedamaian dan anti kekerasan bagi semua, baik kekerasan verbal maupun tindakan.
Pertanyaannya, bagaimana puasa mampu membentuk pribadi berkarakter anti
kekerasan?
Dalam
sebuah hadis al-Bukhari, riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad
saw menjelaskan, puasa merupakan perisai (junnah). Perisai berfungsi
untuk menangkis serangan. Perisai puasa berfungsi menahan dua dorongan negatif.
Pertama, dorongan negatif dari dalam, berupa larangan melakukan
kekerasan verbal terhadap orang lain. Nabi mencontohkan seperti berbicara jelek
dan kasar. Ucapan kasar dan jelek bisa melukai hati orang lain dan
memicu permusuhan. Kedua, dorongan negatif dari luar. Ketika ada seseorang yang
datang memakimu dan memancing emosimu. Nabi menyarankan agar mampu menahan
amarah dan mengabarkan bahwa kamu sedang berpuasa. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisir pertikaian. Relasi yang ingin dibangun nabi selama berpuasa
adalah relasi damai, yang dibangun atas dasar tidak menyakiti satu sama lain.
Nabi menegaskan lagi dalam lanjutan hadis tersebut. Aroma mulut
orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak Misik. Dalam Fath
al-Bari, Syarah kitab Shahih al-Bukhari, kalimat tersebut merupakan
kiasan. Dalam tradisi Arab, orang yang memakai minyak misik biasanya dicintai
oleh orang di sekitarnya, mendekatkannya
dengan banyak orang. Begitu pula dengan puasa. Puasa yang hakiki mampu
mendekatkan diri kepada Allah. Puasa yang dimaksud oleh Nabi adalah puasa yang
memenuhi empat kriteria. Antara lain, puasa dengan mengekang (1) makan, (2)
minum, (3) syahwat dan (4)
mengharap ridha Allah. Nabi menegaskan, kualitas puasa diukur dari manajemen
syahwat dan niat. Syahwat dan niat disini menjadi aspek dominan yang bersifat
batiniah, sementara makan dan minum bersifat lahiriah. Mementingkan aspek
lahiriah saja tidak cukup, karenanya Nabi saw berpesan, banyak orang yang
berpuasa hanya mendapat haus dan dahaga tanpa pahala. Oleh karena itu, Manajemen
syahwat perlu diperhatikan, khususnya syahwat yang memiliki dampak sosial:
syahwat lisan dan tangan. Lisan dijaga agar setiap yang dikata mendamaikan hati
orang yang mendengarnya, bukan menjadi sumber fitnah. Tangan digunakan untuk menginvestasikan
kebaikan, bukan pengerusakan dan sweeping sewaktu bulan Ramadhan.
Kemenangan Tanpa Kekerasan
Pembukaan kota
Makkah-fath al-Makkah-terjadi pada bulan Ramadhan, tahun kelima
Hijriyah. Peristiwa ini terjadi karena pengkhianatan Quraisy terhadap
perjanjian Hudaibiyah. Sekitar sepuluh ribu pasukan muslim ikut serta dalam
peristiwa ini.
Pasukan
kaum muslim sudah memasuki daerah Marr al-Zahran-terletak antara Makkah dan
Madinah. Pihak Quraisy merasakan ada bahaya besar yang mendekat. Mereka mengirim
Abu Sufyan sebagai juru runding. Ia melakukan mediasi dengan bantuan Abbas
sebagai mediator. Dalam mediasi tersebut, Nabi menyampaikan tiga pesan damai
agar disampaikan kepada seluruh penduduk Makkah sebelum kedatangannya ke
Makkah. Pesan damai tersebut berisi jaminan keamanan dan keselamatan bagi
mereka yang: (1) memasuki rumah Abu Sufyan; (2) menutup pintu rumahnya; (3) dan
masuk masjid.
Nabi menegaskan, misinya adalah anti
kekerasan. Nabi memerintahkan kepada semua pasukannya supaya jangan melakukan
pertempuran, jangan meneteskan darah, kecuali jika ada perlawanan. Sesampai di
Makkah, Nabi Muhammad saw bertanya kepada kaum Qurays, "Menurutmu, apa
yang akan kuperbuat terhadapmu sekarang?". Mereka menjawab, "yang
baik-baik. Engkau adalah saudara yang pemurah". Nabi mengampuni dan
membebaskan mereka.
Peluang kekerasan dalam fath
al-Makkah sangat besar. Kaum Quraisy tak berkutik dengan kepungan tentara
kaum Muslim. Nyawa mereka menunggu instruksi Nabi. Meski demikian, Nabi
Muhammad memilih memberi maaf. Padahal diantara mereka, Nabi mengenal
orang-orang yang pernah berkomplot untuk membunuhnya, yang pernah menganiayanya dan para sahabatnya,
yang memeranginya sewaktu perang Badar dan Uhud, yang mengepungnya dalam perang
Khandaq, dan yang menghasut orang Arab untuk melawan Nabi.
Nabi Muhammad juga memberi amnesti
kepada mereka yang dijatuhi hukuman mati. Diantaranya, Hindun, istri Abu
Sufyan, yang telah mengunyah jantung Hamzah ra. pada waktu perang Uhud.
Nabi Muhammad mengajarkan beberapa hal
penting dalam misi perdamaian fath al-Makkah di bulan Ramadhan. Pertama,
Ramadhan adalah momentum untuk memuasakan dorongan jahat. Dalam fath
al-Makkah, kesempatan untuk melakukan kekerasan terhadap yang lain ada,
namun Nabi memuasakan dorongan tersebut dan memilih memaafkan mereka. Kedamaian
Ramadhan dan tanah haram lebih penting daripada menuruti nafsu. Kedua, dendam
harus dibalas dengan kebaikan. Kekerasan akan melahirkan permusuhan. Sementara
kebaikan akan membangun tatanan masyarakat madani. Salah satu dampak positif
dari strategi damai Nabi adalah banyak kaum Quraisy yang berbondong-bondong
masuk Islam. Ketiga, kemenangan sejati harus mampu memberi kemenangan
orang lain untuk memperbaiki diri. Kemenangan harus dibangun atas dasar
merahmati yang lain. Kemenangan yang menjamin kedamaian tanpa kekerasan.
Dimuat di Radar Semarang, Jawa Pos, 23 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar