Sabtu, 03 Agustus 2013

Ramadhan adalah Madrasah Anti Kekerasan

Oleh Mishbah KZ


Ramadhan merupakan madrasah anti kekerasan (nonvilonce). Ramadhan menempa individu untuk memuasakan potensi negatif panca indera yang merugikan dirinya dan orang lain. Oleh karena itu, puasa sesungguhnya adalah memuasakan diri dari laku kekerasan kepada yang lain, bukan semata menahan diri dari lapar dan dahaga. Orientasi puasa ada dua: (1) sah dan (2) kualitas. Jika orientasi puasa terbatas pada tujuan sahnya puasa, maka menahan dari yang membatalkan puasa sudah cukup. Akan tetapi, jika orientasinya adalah pencapaian kualitas puasa, maka  puasa harus mampu menjamin kedamaian dan anti kekerasan bagi semua, baik kekerasan verbal maupun tindakan. Pertanyaannya, bagaimana puasa mampu membentuk pribadi berkarakter anti kekerasan?
Dalam sebuah hadis al-Bukhari, riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw menjelaskan, puasa merupakan perisai (junnah). Perisai berfungsi untuk menangkis serangan. Perisai puasa berfungsi menahan dua dorongan negatif. Pertama, dorongan negatif dari dalam, berupa larangan melakukan kekerasan verbal terhadap orang lain. Nabi mencontohkan seperti berbicara jelek dan kasar. Ucapan kasar dan jelek bisa melukai hati orang lain dan memicu permusuhan. Kedua, dorongan negatif dari luar. Ketika ada seseorang yang datang memakimu dan memancing emosimu. Nabi menyarankan agar mampu menahan amarah dan mengabarkan bahwa kamu sedang berpuasa. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir pertikaian. Relasi yang ingin dibangun nabi selama berpuasa adalah relasi damai, yang dibangun atas dasar tidak menyakiti satu sama lain.  
Nabi menegaskan lagi dalam lanjutan hadis tersebut. Aroma mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak Misik. Dalam Fath al-Bari, Syarah kitab Shahih al-Bukhari, kalimat tersebut merupakan kiasan. Dalam tradisi Arab, orang yang memakai minyak misik biasanya dicintai oleh orang di sekitarnya,  mendekatkannya dengan banyak orang. Begitu pula dengan puasa. Puasa yang hakiki mampu mendekatkan diri kepada Allah. Puasa yang dimaksud oleh Nabi adalah puasa yang memenuhi empat kriteria. Antara lain, puasa dengan mengekang (1) makan, (2) minum, (3) syahwat  dan (4) mengharap ridha Allah. Nabi menegaskan, kualitas puasa diukur dari manajemen syahwat dan niat. Syahwat dan niat disini menjadi aspek dominan yang bersifat batiniah, sementara makan dan minum bersifat lahiriah. Mementingkan aspek lahiriah saja tidak cukup, karenanya Nabi saw berpesan, banyak orang yang berpuasa hanya mendapat haus dan dahaga tanpa pahala. Oleh karena itu, Manajemen syahwat perlu diperhatikan, khususnya syahwat yang memiliki dampak sosial: syahwat lisan dan tangan. Lisan dijaga agar setiap yang dikata mendamaikan hati orang yang mendengarnya, bukan menjadi sumber fitnah. Tangan digunakan untuk menginvestasikan kebaikan, bukan pengerusakan dan sweeping sewaktu bulan Ramadhan.

Kemenangan Tanpa Kekerasan
            Pembukaan kota Makkah-fath al-Makkah-terjadi pada bulan Ramadhan, tahun kelima Hijriyah. Peristiwa ini terjadi karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyah. Sekitar sepuluh ribu pasukan muslim ikut serta dalam peristiwa ini.
Pasukan kaum muslim sudah memasuki daerah Marr al-Zahran-terletak antara Makkah dan Madinah. Pihak Quraisy merasakan ada bahaya besar yang mendekat. Mereka mengirim Abu Sufyan sebagai juru runding. Ia melakukan mediasi dengan bantuan Abbas sebagai mediator. Dalam mediasi tersebut, Nabi menyampaikan tiga pesan damai agar disampaikan kepada seluruh penduduk Makkah sebelum kedatangannya ke Makkah. Pesan damai tersebut berisi jaminan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang: (1) memasuki rumah Abu Sufyan; (2) menutup pintu rumahnya; (3) dan masuk masjid.    
            Nabi menegaskan, misinya adalah anti kekerasan. Nabi memerintahkan kepada semua pasukannya supaya jangan melakukan pertempuran, jangan meneteskan darah, kecuali jika ada perlawanan. Sesampai di Makkah, Nabi Muhammad saw bertanya kepada kaum Qurays, "Menurutmu, apa yang akan kuperbuat terhadapmu sekarang?". Mereka menjawab, "yang baik-baik. Engkau adalah saudara yang pemurah". Nabi mengampuni dan membebaskan mereka.
            Peluang kekerasan dalam fath al-Makkah sangat besar. Kaum Quraisy tak berkutik dengan kepungan tentara kaum Muslim. Nyawa mereka menunggu instruksi Nabi. Meski demikian, Nabi Muhammad memilih memberi maaf. Padahal diantara mereka, Nabi mengenal orang-orang yang pernah berkomplot untuk membunuhnya, yang  pernah menganiayanya dan para sahabatnya, yang memeranginya sewaktu perang Badar dan Uhud, yang mengepungnya dalam perang Khandaq, dan yang menghasut orang Arab untuk melawan Nabi.     
            Nabi Muhammad juga memberi amnesti kepada mereka yang dijatuhi hukuman mati. Diantaranya, Hindun, istri Abu Sufyan, yang telah mengunyah jantung Hamzah ra. pada waktu perang Uhud.
            Nabi Muhammad mengajarkan beberapa hal penting dalam misi perdamaian fath al-Makkah di bulan Ramadhan. Pertama, Ramadhan adalah momentum untuk memuasakan dorongan jahat. Dalam fath al-Makkah, kesempatan untuk melakukan kekerasan terhadap yang lain ada, namun Nabi memuasakan dorongan tersebut dan memilih memaafkan mereka. Kedamaian Ramadhan dan tanah haram lebih penting daripada menuruti nafsu. Kedua, dendam harus dibalas dengan kebaikan. Kekerasan akan melahirkan permusuhan. Sementara kebaikan akan membangun tatanan masyarakat madani. Salah satu dampak positif dari strategi damai Nabi adalah banyak kaum Quraisy yang berbondong-bondong masuk Islam. Ketiga, kemenangan sejati harus mampu memberi kemenangan orang lain untuk memperbaiki diri. Kemenangan harus dibangun atas dasar merahmati yang lain. Kemenangan yang menjamin  kedamaian tanpa kekerasan.

Dimuat di Radar Semarang, Jawa Pos, 23 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar