Sabtu, 03 Agustus 2013

MENGGENGGAM DUNIA

Oleh Mishbah KZ


Sewaktu duduk di bangku madrasah, Pak Mustahiq, guru bahasa Arab, selalu berpesan, "Dengan bahasa, dunia dalam genggamanmu". Menurut beliau, bahasa adalah kunci membuka cakrawala dunia. Bahasa juga merupakan alat komunikasi. Seseorang yang mampu memahami bahasa, dengan mudah memahami pengetahuan global dan dapat berkomunikasi dengan orang di seluruh penjuru dunia.
            Saat itu, saya masih menyangsikan pesan Pak Mustahiq. Menurutku, menggenggam dunia dengan penguasaan bahasa hanyalah isapan jempol. Hal tersebut karena beberpa hal. Pertama, sebagai siswa di Madrasah Aliyah, mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah adalah sebuah anugerah. Beberapa teman sejawat banyak yang terpaksa bekerja. Di samping itu, keliling dunia menuntut kita untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Biaya adalah syarat utama. Beberapa teman berpendapat, daripada menghabiskan banyak biaya, lebih baik bekerja untuk menghasilkan uang. Pilihan yang sulit. Kedua, mahir berbahasa Arab dan Inggris itu tidak mudah. Ada rasa takut salah. Ada perasaan minder. Untuk mempelajari tata bahasa seperti nahwu, shorof dan grammar itu mudah. Ya, belajar tata bahasa bisa dipelajari sendiri. Namun, belajar percakapan (speaking) membutuhkan teman. Sementara, teman-temanku paling susah untuk diajak berbicara bahasa asing. Menurut mereka, siswa yang bicara bahasa asing di sekolah itu siswa yang sombong. Padahal, di sekolahku, ada peraturan dan tempat khusus bertuliskan "Arabic & English area", kawasan wajib berbahasa Arab dan Inggris. Faktanya, tak seorang pun di area tersebut yang bericara bahasa Arab dan Inggris. Para siswa aktif berbicara jika ada guru bahasa menyapa siswa di tempat tersebut. Berbicara bahasa asing belum menjadi kesadaran, hanya peraturan yg sekadar dipatuhi jika ada yang mengawasi.

Otodidak untuk Menempa Diri
            Tantangan tersebut menjadi pemicu untuk giat belajar. Otodidak adalah pilihan. Setiap hari, sejumlah kosakata harus dihafal. Awalnya berat, setiap kali dihafalkan, lupa selalu menghampiri. Hafalan memang harus diulang terus menerus. Dalam tempo beberapa bulan, hafalan kosa kata sudah cukup banyak. Anehnya, aku masih belum bisa bicara. Setelah evaluasi, ada yang butuh dibenahi dalam sistem belajarku, terutama bahasa Arab. Hafalan kosakata memberi tambahan pembendaharaan kata. Sementara yang dibutuhkan dalam percakapan (speaking) adalah pembendaharaan ungkapan (expression). Selain itu, pelajaran percakapan yang kupelajari terasa sulit diterapkan. Tema percakapan lebih berkutat pada tempat, seperti di sekolah, perpustakaan, dan sebagainya. Apabila contoh percapakan tersebut dihafalkan, sulit bisa diterapkan dalam kondisi dan tempat yang berbeda.     
            Pengalaman tersebut membuatku mengumpulkan ungkapan percakapan (ekspression) bahasa Arab secata tematik. Penyusunan  ungkapan berdasarkan tema tertentu, seperti ungkapan permohonan maaf, permohonan ijin, ungkapan selamat dan sebagainya. Dalam penyusunan ungkapan ini secara tidak langsung harus membuka banyak buku bahasa Arab, bertemu dengan praktisi pendidik bahasa Arab dan native speaker. Bagiku, ini adalah belajar bahasa yang sesungguhnya; menempa diri secara langsung pada bidang yang ditekuni. Tak terasa, kumpulan ungkapan tersebut mencapai ratusan halaman. Beberapa teman minta untuk diterbitkan. Berkat dukungan beberapa pihak, kumpulan ungkapan tersebut berhasil terbit dengan Judul "La Taskut". Alhamdulillah, buku sederhana tersebut diterima beberapa kalangan. Diantaranya digunakan sebagai panduan kursus bahasa Arab, panduan siswa, santri dan dicetak Kementerian Agama.

Arabicphobia
            Dalam proses belajar, penulis bertemu dengan pegiat bahasa Arab, baik pelajar maupun pendidik. Diantara mereka ada yang mudah belajar bahasa Arab. Ada pula yang merasa kesulitan. Mungkin ada banyak faktor yang membuat pelajaran bahasa Arab menakutkan dan tidak menarik. Diantaranya adalah arabicphobia. Yakni, rasa ketakutan yang berlebihan pada hal yang berhubungan dengan bahasa Arab. Gejalanya, setiap kali mendengar pelajaran bahasa Arab, perasaan khawatir dan cemas muncul. Akibatnya pasrtisipasi siswa di kelas tidak maksimal. Partisipasi siswa terbatas pada menghadiri kelas, tidak memahami pelajaran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain: materi yang rumit, metode penyampaian dan minimnya interaksi siswa dalam pembelajaran. Siswa diposisikan sebagai objek pasif. Imbasnya, siswa antipati terhadap pelajaran tersebut. Padahal ketertarikan siswa adalah kunci pokok dalam pembelajaran bahasa.
            Obat arabicphobia adalah menaklukkan rasa takut itu sendiri. Ketakutan harus diminimalisir. Ini membutuhkan pemahaman bahwa bahasa Arab itu mudah. Bicara bahasa Arab itu semudah berbicara bahasa daerah.

Bicara itu Mudah
            Di Timur Tengah, khususnya di negara teluk, banyak sekali pekerja dari India, Bangladesh, Pakistan. Mereka bekerja di sektor jasa, seperti pelayan toko, sopir dan lain sebagainya. Mereka mahir berbicara Arab dan Inggris. Tidak terbersit rasa takut untuk berbicara, meski banyak sekali kesalahan tata bahasa. Bagi mereka, tujuan komunikasi adalah menyampaikan pesan dan bersosialisasi. Keterbatasan bahasa tidak menjadi kendala untuk berbicara. Mungkin sistem belajar mereka adalah "trial and error", belajar dengan cara mencoba-coba dan membuat kesalahan. Kesalahan yang dilakukan digunakan sebagai bahan evaluasi untuk melakukan perbaikan.
            Selain penguasaan bahasa, rasa percaya diri mutlak dibutuhkan. Orang India memiliki rasa percaya diri untuk berkomunikasi. Kepercayaan diri lah yang membuat mereka bisa bekerja dan hidup di Negara teluk.
            Sekarang, setelah setahun lebih berada di Qatar, saya bisa memahami pesan Pak Mustahiq. Bahasa adalah sayap untuk terbang ke penjuru dunia. Bahasa adalah kunci jagad pengetahuan. Genggamlah bahasa! Genggamlah dunia!

Dimuat di Majalah Latansa, Edisi Perdana, Juni 2013

Ramadhan adalah Madrasah Anti Kekerasan

Oleh Mishbah KZ


Ramadhan merupakan madrasah anti kekerasan (nonvilonce). Ramadhan menempa individu untuk memuasakan potensi negatif panca indera yang merugikan dirinya dan orang lain. Oleh karena itu, puasa sesungguhnya adalah memuasakan diri dari laku kekerasan kepada yang lain, bukan semata menahan diri dari lapar dan dahaga. Orientasi puasa ada dua: (1) sah dan (2) kualitas. Jika orientasi puasa terbatas pada tujuan sahnya puasa, maka menahan dari yang membatalkan puasa sudah cukup. Akan tetapi, jika orientasinya adalah pencapaian kualitas puasa, maka  puasa harus mampu menjamin kedamaian dan anti kekerasan bagi semua, baik kekerasan verbal maupun tindakan. Pertanyaannya, bagaimana puasa mampu membentuk pribadi berkarakter anti kekerasan?
Dalam sebuah hadis al-Bukhari, riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw menjelaskan, puasa merupakan perisai (junnah). Perisai berfungsi untuk menangkis serangan. Perisai puasa berfungsi menahan dua dorongan negatif. Pertama, dorongan negatif dari dalam, berupa larangan melakukan kekerasan verbal terhadap orang lain. Nabi mencontohkan seperti berbicara jelek dan kasar. Ucapan kasar dan jelek bisa melukai hati orang lain dan memicu permusuhan. Kedua, dorongan negatif dari luar. Ketika ada seseorang yang datang memakimu dan memancing emosimu. Nabi menyarankan agar mampu menahan amarah dan mengabarkan bahwa kamu sedang berpuasa. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir pertikaian. Relasi yang ingin dibangun nabi selama berpuasa adalah relasi damai, yang dibangun atas dasar tidak menyakiti satu sama lain.  
Nabi menegaskan lagi dalam lanjutan hadis tersebut. Aroma mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak Misik. Dalam Fath al-Bari, Syarah kitab Shahih al-Bukhari, kalimat tersebut merupakan kiasan. Dalam tradisi Arab, orang yang memakai minyak misik biasanya dicintai oleh orang di sekitarnya,  mendekatkannya dengan banyak orang. Begitu pula dengan puasa. Puasa yang hakiki mampu mendekatkan diri kepada Allah. Puasa yang dimaksud oleh Nabi adalah puasa yang memenuhi empat kriteria. Antara lain, puasa dengan mengekang (1) makan, (2) minum, (3) syahwat  dan (4) mengharap ridha Allah. Nabi menegaskan, kualitas puasa diukur dari manajemen syahwat dan niat. Syahwat dan niat disini menjadi aspek dominan yang bersifat batiniah, sementara makan dan minum bersifat lahiriah. Mementingkan aspek lahiriah saja tidak cukup, karenanya Nabi saw berpesan, banyak orang yang berpuasa hanya mendapat haus dan dahaga tanpa pahala. Oleh karena itu, Manajemen syahwat perlu diperhatikan, khususnya syahwat yang memiliki dampak sosial: syahwat lisan dan tangan. Lisan dijaga agar setiap yang dikata mendamaikan hati orang yang mendengarnya, bukan menjadi sumber fitnah. Tangan digunakan untuk menginvestasikan kebaikan, bukan pengerusakan dan sweeping sewaktu bulan Ramadhan.

Kemenangan Tanpa Kekerasan
            Pembukaan kota Makkah-fath al-Makkah-terjadi pada bulan Ramadhan, tahun kelima Hijriyah. Peristiwa ini terjadi karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyah. Sekitar sepuluh ribu pasukan muslim ikut serta dalam peristiwa ini.
Pasukan kaum muslim sudah memasuki daerah Marr al-Zahran-terletak antara Makkah dan Madinah. Pihak Quraisy merasakan ada bahaya besar yang mendekat. Mereka mengirim Abu Sufyan sebagai juru runding. Ia melakukan mediasi dengan bantuan Abbas sebagai mediator. Dalam mediasi tersebut, Nabi menyampaikan tiga pesan damai agar disampaikan kepada seluruh penduduk Makkah sebelum kedatangannya ke Makkah. Pesan damai tersebut berisi jaminan keamanan dan keselamatan bagi mereka yang: (1) memasuki rumah Abu Sufyan; (2) menutup pintu rumahnya; (3) dan masuk masjid.    
            Nabi menegaskan, misinya adalah anti kekerasan. Nabi memerintahkan kepada semua pasukannya supaya jangan melakukan pertempuran, jangan meneteskan darah, kecuali jika ada perlawanan. Sesampai di Makkah, Nabi Muhammad saw bertanya kepada kaum Qurays, "Menurutmu, apa yang akan kuperbuat terhadapmu sekarang?". Mereka menjawab, "yang baik-baik. Engkau adalah saudara yang pemurah". Nabi mengampuni dan membebaskan mereka.
            Peluang kekerasan dalam fath al-Makkah sangat besar. Kaum Quraisy tak berkutik dengan kepungan tentara kaum Muslim. Nyawa mereka menunggu instruksi Nabi. Meski demikian, Nabi Muhammad memilih memberi maaf. Padahal diantara mereka, Nabi mengenal orang-orang yang pernah berkomplot untuk membunuhnya, yang  pernah menganiayanya dan para sahabatnya, yang memeranginya sewaktu perang Badar dan Uhud, yang mengepungnya dalam perang Khandaq, dan yang menghasut orang Arab untuk melawan Nabi.     
            Nabi Muhammad juga memberi amnesti kepada mereka yang dijatuhi hukuman mati. Diantaranya, Hindun, istri Abu Sufyan, yang telah mengunyah jantung Hamzah ra. pada waktu perang Uhud.
            Nabi Muhammad mengajarkan beberapa hal penting dalam misi perdamaian fath al-Makkah di bulan Ramadhan. Pertama, Ramadhan adalah momentum untuk memuasakan dorongan jahat. Dalam fath al-Makkah, kesempatan untuk melakukan kekerasan terhadap yang lain ada, namun Nabi memuasakan dorongan tersebut dan memilih memaafkan mereka. Kedamaian Ramadhan dan tanah haram lebih penting daripada menuruti nafsu. Kedua, dendam harus dibalas dengan kebaikan. Kekerasan akan melahirkan permusuhan. Sementara kebaikan akan membangun tatanan masyarakat madani. Salah satu dampak positif dari strategi damai Nabi adalah banyak kaum Quraisy yang berbondong-bondong masuk Islam. Ketiga, kemenangan sejati harus mampu memberi kemenangan orang lain untuk memperbaiki diri. Kemenangan harus dibangun atas dasar merahmati yang lain. Kemenangan yang menjamin  kedamaian tanpa kekerasan.

Dimuat di Radar Semarang, Jawa Pos, 23 Juli 2013