Oleh Mishbah KZ
Sewaktu duduk di bangku madrasah, Pak
Mustahiq, guru bahasa Arab, selalu berpesan, "Dengan bahasa, dunia
dalam genggamanmu". Menurut beliau, bahasa adalah kunci membuka
cakrawala dunia. Bahasa juga merupakan alat komunikasi. Seseorang yang mampu
memahami bahasa, dengan mudah memahami pengetahuan global dan dapat berkomunikasi
dengan orang di seluruh penjuru dunia.
Saat itu, saya
masih menyangsikan pesan Pak Mustahiq. Menurutku, menggenggam dunia dengan
penguasaan bahasa hanyalah isapan jempol. Hal tersebut karena beberpa hal. Pertama,
sebagai siswa di Madrasah Aliyah, mendapatkan kesempatan melanjutkan
sekolah adalah sebuah anugerah. Beberapa teman sejawat banyak yang terpaksa bekerja.
Di samping itu, keliling dunia menuntut kita untuk melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi. Biaya adalah syarat utama. Beberapa teman berpendapat, daripada menghabiskan
banyak biaya, lebih baik bekerja untuk menghasilkan uang. Pilihan yang sulit. Kedua,
mahir berbahasa Arab dan Inggris itu tidak mudah. Ada rasa takut salah. Ada
perasaan minder. Untuk mempelajari tata bahasa seperti nahwu, shorof
dan grammar itu mudah. Ya, belajar tata bahasa bisa dipelajari sendiri. Namun,
belajar percakapan (speaking) membutuhkan teman. Sementara,
teman-temanku paling susah untuk diajak berbicara bahasa asing. Menurut mereka,
siswa yang bicara bahasa asing di sekolah itu siswa yang sombong. Padahal, di
sekolahku, ada peraturan dan tempat khusus bertuliskan "Arabic &
English area", kawasan wajib berbahasa Arab dan Inggris. Faktanya, tak
seorang pun di area tersebut yang bericara bahasa Arab dan Inggris. Para siswa
aktif berbicara jika ada guru bahasa menyapa siswa di tempat tersebut.
Berbicara bahasa asing belum menjadi kesadaran, hanya peraturan yg sekadar
dipatuhi jika ada yang mengawasi.
Otodidak untuk Menempa Diri
Tantangan
tersebut menjadi pemicu untuk giat belajar. Otodidak adalah pilihan. Setiap
hari, sejumlah kosakata harus dihafal. Awalnya berat, setiap kali dihafalkan,
lupa selalu menghampiri. Hafalan memang harus diulang terus menerus. Dalam
tempo beberapa bulan, hafalan kosa kata sudah cukup banyak. Anehnya, aku masih
belum bisa bicara. Setelah evaluasi, ada yang butuh dibenahi dalam sistem
belajarku, terutama bahasa Arab. Hafalan kosakata memberi tambahan pembendaharaan
kata. Sementara yang dibutuhkan dalam percakapan (speaking) adalah
pembendaharaan ungkapan (expression). Selain itu, pelajaran percakapan
yang kupelajari terasa sulit diterapkan. Tema percakapan lebih berkutat pada
tempat, seperti di sekolah, perpustakaan, dan sebagainya. Apabila contoh
percapakan tersebut dihafalkan, sulit bisa diterapkan dalam kondisi dan tempat
yang berbeda.
Pengalaman
tersebut membuatku mengumpulkan ungkapan percakapan (ekspression) bahasa Arab
secata tematik. Penyusunan ungkapan berdasarkan
tema tertentu, seperti ungkapan permohonan maaf, permohonan ijin, ungkapan
selamat dan sebagainya. Dalam penyusunan ungkapan ini secara tidak langsung harus
membuka banyak buku bahasa Arab, bertemu dengan praktisi pendidik bahasa Arab
dan native speaker. Bagiku, ini adalah belajar bahasa yang sesungguhnya;
menempa diri secara langsung pada bidang yang ditekuni. Tak terasa, kumpulan
ungkapan tersebut mencapai ratusan halaman. Beberapa teman minta untuk
diterbitkan. Berkat dukungan beberapa pihak, kumpulan ungkapan tersebut berhasil
terbit dengan Judul "La Taskut". Alhamdulillah, buku sederhana tersebut
diterima beberapa kalangan. Diantaranya digunakan sebagai panduan kursus bahasa
Arab, panduan siswa, santri dan dicetak Kementerian Agama.
Arabicphobia
Dalam proses
belajar, penulis bertemu dengan pegiat bahasa Arab, baik pelajar maupun
pendidik. Diantara mereka ada yang mudah belajar bahasa Arab. Ada pula yang
merasa kesulitan. Mungkin ada banyak faktor yang membuat pelajaran bahasa Arab
menakutkan dan tidak menarik. Diantaranya adalah arabicphobia. Yakni,
rasa ketakutan yang berlebihan pada hal yang berhubungan dengan bahasa Arab.
Gejalanya, setiap kali mendengar pelajaran bahasa Arab, perasaan khawatir dan
cemas muncul. Akibatnya pasrtisipasi siswa di kelas tidak maksimal. Partisipasi
siswa terbatas pada menghadiri kelas, tidak memahami pelajaran. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain: materi yang rumit, metode
penyampaian dan minimnya interaksi siswa dalam pembelajaran. Siswa diposisikan
sebagai objek pasif. Imbasnya, siswa antipati terhadap pelajaran tersebut.
Padahal ketertarikan siswa adalah kunci pokok dalam pembelajaran bahasa.
Obat arabicphobia
adalah menaklukkan rasa takut itu sendiri. Ketakutan harus diminimalisir.
Ini membutuhkan pemahaman bahwa bahasa Arab itu mudah. Bicara bahasa Arab itu
semudah berbicara bahasa daerah.
Bicara itu Mudah
Di Timur
Tengah, khususnya di negara teluk, banyak sekali pekerja dari India,
Bangladesh, Pakistan. Mereka bekerja di sektor jasa, seperti pelayan toko,
sopir dan lain sebagainya. Mereka mahir berbicara Arab dan Inggris. Tidak
terbersit rasa takut untuk berbicara, meski banyak sekali kesalahan tata
bahasa. Bagi mereka, tujuan komunikasi adalah menyampaikan pesan dan
bersosialisasi. Keterbatasan bahasa tidak menjadi kendala untuk berbicara.
Mungkin sistem belajar mereka adalah "trial and error",
belajar dengan cara mencoba-coba dan membuat kesalahan. Kesalahan yang
dilakukan digunakan sebagai bahan evaluasi untuk melakukan perbaikan.
Selain
penguasaan bahasa, rasa percaya diri mutlak dibutuhkan. Orang India memiliki
rasa percaya diri untuk berkomunikasi. Kepercayaan diri lah yang membuat mereka
bisa bekerja dan hidup di Negara teluk.
Sekarang, setelah
setahun lebih berada di Qatar, saya bisa memahami pesan Pak Mustahiq. Bahasa
adalah sayap untuk terbang ke penjuru dunia. Bahasa adalah kunci jagad
pengetahuan. Genggamlah bahasa! Genggamlah dunia!
Dimuat di Majalah Latansa, Edisi Perdana, Juni 2013