Oleh : K.H. Ahmad Warson Munawwir
الحمد لله، الحمد لله، الحمد لله
Bahasa, dalam pengertiannya yang paling mendasar, adalah bentuk ungkapan yang dipakai dan disepakati suatu kelompok masyarakat untuk menyampaikan maksud di antara mereka. Bahasa juga menjadi rumah pikir para penggunanya. Benarlah takrif yang berbunyi al insanu hayawanun natiqun, bahwa manusia adalah hewan yang berbicara/berpikir. Kata natiq diantaranya mengandung makna bicara dan logika. Maka, ketika berbahasa, seseorang sesungguhnya juga sedang berpikir. Sebaliknya pula, ketika berpikir, seseorang juga tengah berbahasa.
Sebagai perantara komunikasi, bahasa dibentuk melalui serangkaian proses budaya yang panjang. Secara umum, terdapat dua jenis budaya yang memengaruhi proses perkembangan sebagian besar jenis bahasa, yakni budaya lisan dan budaya tulisan. Perbedaan antara keduanya terletak pada ciri dan susunan ketatabahasaannya. Dalam budaya tulisan, bahasa biasanya lebih terstruktur karena baik penulis maupun pengguna berbahasa dalam suasana dan olah pikir yang tertata dan tertib. Dalam budaya tulisan lah, ilmu tentang gramatika yang membahas kaidah-kaidah tata bahasa berkembang pesat. Sedangkan dalam budaya lisan, bahasa cenderung digunakan secara spontan, datar, dan langsung. Karena itu, dalam budaya lisan lahir sekian banyak dialek yang berbeda-beda sekalipun masih dalam satu jenis bahasa.
Kenyataan-kenyataan semacam itu terjadi juga dalam bahasa Arab. Kita menjumpai pembedaan antara fusha (fasih) yang muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa tulisan dan ‘ammiyah (pasaran) yang terbentuk dari percakapan sehari-hari.
Adapun yang lazim dipelajari secara internasional, termasuk di sini adalah apa yang sekian lama diajarkan dan menjadi ciri pondok pesantren atau madrasah di Indonesia, adalah bahasa Arab fusha. Para santri sangat akrab dengan ilmu-ilmu semacam nahwu, sharf, dan balaghah. Kemampuan berbahasa arab secara gramatikal ini sangat penting artinya dalam memahami secara menyeluruh dan bertanggung jawab sumber-sumber Islam yaitu Al Quran dan Sunnah hingga Ijma’ dan Qiyas. Satu misal, proses penggalian hukum (istinbath) terhadap suatu perkara fiqh mustahil didapatkan dengan mengabaikan kemampuan gramatikal tersebut.
Bahasa Arab ‘ammiyah juga berkembang seturut dengan berkembangnya kebudayaan Arab sendiri. Hanya saja, perkembangan itu berlangsung dengan sangat cair sehingga dialek orang Saudi, misalnya, berbeda dengan dialek Mesir. Biasanya pula, seseorang baru mungkin menguasainya bila bermukim di salah satu negara Arab.
Saya turut berbahagia dengan terbitnya buku “Lâ Taskut!” (yang berarti “Jangan Diam”) yang disusun oleh Mishbah Khoiruddin Zuhri dan Muhammad Shobirin Suhail. Buku ini melengkapi kepustakaan tentang bahasa Arab dari sisi budaya lisannya. Buku-buku serupa, yang membahas percakapan sehari-hari, selama ini sudah banyak beredar namun umumnya sebatas ungkapan-ungkapan praktis.
Kelebihan “Lâ Taskut!” terletak pada usaha dua penyusun dalam melakukan sistematisasi pembahasan. Jika buku-buku serupa sebelumnya cenderung disusun berdasar tempat (makaniy), seperti percakapan di rumah, bandara, kantor dan sebagainya, buku ini menyajikan percakapan Arab secara tematis (maudlu’iy) dengan metode dan pola yang beragam. Pada masing-masing bab, disediakan dua jenis ungkapan dalam bentuk fusha dan ‘ammiyah. Ini memudahkan pembaca untuk mengenali antara ungkapan-ungkapan standar yang resmi dengan ungkapan-ungkapan yang tidak baku namun populer. Adapun, pilihan terhadap dialek Mesir, kiranya tepat karena dialek ‘ammiyah di Mesir lebih kompleks dibanding negeri-negeri Arab lainnya.
Dalam hemat saya, buku ini cukup membantu mereka yang menggeluti bahasa ‘Arab baik untuk kepentingan rihlah (kunjungan), studi ataupun profesi. Seperti diketahui, jumlah orang Indonesia yang pergi ke negara-negara Arab sangat tinggi. Jama’ah haji, TKI, hingga pelajar biasanya mula-mula dihadapkan pada kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa ‘Arab lisan. Bahkan, mereka yang sudah menguasai gramatika ‘Arab pun tak jarang sulit berkomunikasi secara aktif. Buku ini kiranya cukup membantu mengurangi kesulitan itu.
Akhirul kalam, semoga penerbitan buku ini bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Krapyak, 22 Mei 2009