Selasa, 20 November 2012

LA-TASKUT: KAMUS BAHASA ARAB KOMPREHENSIF



Oleh : K.H. Ahmad Warson Munawwir

الحمد لله، الحمد لله، الحمد لله
Bahasa, dalam pengertiannya yang paling mendasar, adalah bentuk ungkapan yang dipakai dan disepakati suatu kelompok masyarakat untuk menyampaikan maksud di antara mereka. Bahasa juga menjadi rumah pikir para penggunanya. Benarlah takrif yang berbunyi al insanu hayawanun natiqun, bahwa manusia adalah hewan yang berbicara/berpikir. Kata natiq diantaranya mengandung makna bicara dan logika. Maka, ketika berbahasa, seseorang sesungguhnya juga sedang berpikir. Sebaliknya pula, ketika berpikir, seseorang juga tengah berbahasa.
Sebagai perantara komunikasi, bahasa dibentuk melalui serangkaian proses budaya yang panjang. Secara umum, terdapat dua jenis budaya yang memengaruhi proses perkembangan sebagian besar jenis bahasa, yakni budaya lisan dan budaya tulisan. Perbedaan antara keduanya terletak pada ciri dan susunan ketatabahasaannya. Dalam budaya tulisan, bahasa biasanya lebih terstruktur karena baik penulis maupun pengguna berbahasa dalam suasana dan olah pikir yang tertata dan tertib. Dalam budaya tulisan lah, ilmu tentang gramatika yang membahas kaidah-kaidah tata bahasa berkembang pesat. Sedangkan dalam budaya lisan, bahasa cenderung digunakan secara spontan, datar, dan langsung. Karena itu, dalam budaya lisan lahir sekian banyak dialek yang berbeda-beda sekalipun masih dalam satu jenis bahasa.
Kenyataan-kenyataan semacam itu terjadi juga dalam bahasa Arab. Kita menjumpai pembedaan antara fusha (fasih) yang muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa tulisan dan ‘ammiyah (pasaran) yang terbentuk dari percakapan sehari-hari.
Adapun yang lazim dipelajari secara internasional, termasuk di sini adalah apa yang sekian lama diajarkan dan menjadi ciri pondok pesantren atau madrasah di Indonesia, adalah bahasa Arab fusha. Para santri sangat akrab dengan ilmu-ilmu semacam nahwu, sharf, dan balaghah. Kemampuan berbahasa arab secara gramatikal ini sangat penting artinya dalam memahami secara menyeluruh dan bertanggung jawab sumber-sumber Islam yaitu Al Quran dan Sunnah hingga Ijma’ dan Qiyas. Satu misal, proses penggalian hukum (istinbath) terhadap suatu perkara fiqh mustahil didapatkan dengan mengabaikan kemampuan gramatikal tersebut.
Bahasa Arab ‘ammiyah juga berkembang seturut dengan berkembangnya kebudayaan Arab sendiri. Hanya saja, perkembangan itu berlangsung dengan sangat cair sehingga dialek orang Saudi, misalnya, berbeda dengan dialek Mesir. Biasanya pula, seseorang baru mungkin menguasainya bila bermukim di salah satu negara Arab.
Saya turut berbahagia dengan terbitnya buku “Lâ Taskut!” (yang berarti “Jangan Diam”) yang disusun oleh Mishbah Khoiruddin Zuhri dan Muhammad Shobirin Suhail. Buku ini melengkapi kepustakaan tentang bahasa Arab dari sisi budaya lisannya. Buku-buku serupa, yang membahas percakapan sehari-hari, selama ini sudah banyak beredar namun umumnya sebatas ungkapan-ungkapan praktis.
Kelebihan “Lâ Taskut!” terletak pada usaha dua penyusun dalam melakukan sistematisasi pembahasan. Jika buku-buku serupa sebelumnya cenderung disusun berdasar tempat (makaniy), seperti percakapan di rumah, bandara, kantor dan sebagainya, buku ini menyajikan percakapan Arab secara tematis (maudlu’iy) dengan metode dan pola yang beragam. Pada masing-masing bab, disediakan dua jenis ungkapan dalam bentuk fusha dan ‘ammiyah. Ini memudahkan pembaca untuk mengenali antara ungkapan-ungkapan standar yang resmi dengan ungkapan-ungkapan yang tidak baku namun populer. Adapun, pilihan terhadap dialek Mesir, kiranya tepat karena dialek ‘ammiyah di Mesir lebih kompleks dibanding negeri-negeri Arab lainnya.
Dalam hemat saya, buku ini cukup membantu mereka yang menggeluti bahasa ‘Arab baik untuk kepentingan rihlah (kunjungan), studi ataupun profesi. Seperti diketahui, jumlah orang Indonesia yang pergi ke negara-negara Arab sangat tinggi. Jama’ah haji, TKI, hingga pelajar biasanya mula-mula dihadapkan pada kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa ‘Arab lisan. Bahkan, mereka yang sudah menguasai gramatika ‘Arab pun tak jarang sulit berkomunikasi secara aktif. Buku ini kiranya cukup membantu mengurangi kesulitan itu.
Akhirul kalam, semoga penerbitan buku ini bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.

Krapyak, 22 Mei 2009

PASIR BERBISIK DI Al-GHARIYA




Pasir putih. Ombak bergelombang kecil. Air yang bening. Gubuk-gubuk yang teduh. Suasana tersebut menyambut kedatangan kami di pantai Al-Ghariya. Pantai teretak di bagian utara Qatar, berjarak 97 KM dari ibukota Qatar, Doha. Jarak tempuh selama 1 jam perjalanan. Rutenya, dari doha menuju Shamal road sampai ke jalan keluar (exit) nomor 83. Setelah sampai exit 83, belok kanan, kemudian ambil arah lurus sampai pantai.
Di Pantai Al-Ghariya, pengunjung diberi tiga pilihan tempat; keluarga; publik dan resort. Pertama, pantai untuk keluarga. Hanya keluarga yang diperbolehkan masuk. Lajang tidak diperkenankan, kecuali bersama rombongan keluarga. Pantai ini dikelola oleh kementerian pariwisata Qatar. Pengunjung mendapatkan fasilitas tenda. Ada sekitar 10 tenda dengan kapasitas 15-20 orang. Tenda beratap daun kurma. Selain itu terdapat tempat shalat, toilet, tempat parkir dan lapangan sepak bola. Pantai keluarga di Al-Ghariya berjarak 500 meter ke arah utara dari pantai umum. Tidak dipungut biaya, kecuali jika ada perusahaan yang bermaksud menyewa tempat tersebut, ada biaya kebersihan sebesar QR 200. Di pantai al-Ghariya khusus keluarga, pengunjung bisa melakukan pelbagai aktivitas. Diantaranya bersantai, bermain pasir, berenang, memancing, membakar ikan dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang, beberapa komunitas mengadakan lomba seperti tarik tambang, lomba makan donat tergantung, berebut menangkap koin yang dilempar ke dalam air dan lain-lain. Pengunjung boleh sampai larut malam hingga pukul 1 dini hari dan tidak diperkenankan menginap.
Kedua, pantai al-Ghariya untuk publik. Pantai ini terbuka untuk umum, lajang maupun berkeluarga. Jika di zona keluarga luasnya terbatas, karena dibatasi oleh pagar, maka di zona publik terbuka luas. Pengunjung akan menjumpai tenda-tenda di tepi pantai. Tenda tersebut dibangun oleh penduduk setempat untuk menyambut musim semi. Zona publik tidak kalah indahnya. Disana pengunjung dimanjakan dengan bentangan garis pantai yang lebih luas, pilihan kedalaman air yang lebih beragam. Namun, disini tidak tersedia tempat shalat dan toilet umum. Meski tidak ada lapangan sepak bola, pengunjung bisa memanfaatkan hamparan pasir dengan membuat gawang untuk sepak bola atau mendirikan net untuk bermain voli pantai.
Ketiga, al-Ghariya resort. Letaknya berdekatan dengan zona publik. Tempat ini sudah dikelola dengan profesional. Ada beberapa fasilitas yang memadai. Mulai penginapan, vila, restaurant, kolam renang dengan kontrol temperatur suhu air, permainan pantai, lapangan sepak bola, tempat memancing dan kereta wisata mengitari resort.
Beberapa hal yang butuh diperhatikan. Antara lain (1) hati-hati di jalan Shamal, karena rawan kecelakaan, banyak kendaraan dengan kecepatan tinggi, khususnya malam hari. Penulis hampir tertimpa tandon air jumbo yang jatuh dari mobil pick-up, untungnya kendaraan penulis ada di lajur yang berlainan. (2) Jika anda berencana menuju zona publik, ada baiknya menyiapkan tenda darurat sebagai pengganti toilet, membawa tikar dan kebutuhan makan. (3) Pilihlah saat yang tepat. Hal ini sangat penting karena akan menambah kenyamanan dan kenikmatan wisata Anda. Sebaiknya berangkat setelah pagi-pagi atau setelah dzuhur, sehingga sesampai disana Anda akan menemukan udara yang sejuk. Bulan September sampai Februari adalah saat yang tepat untuk mengadakan agenda di luar ruangan, termasuk di pantai. Selamat berlibur.