Rabu, 26 Mei 2010

LA-TASKUT: Buku Bahasa Arab untuk Semua Prof. Dr. Anik Ghufron (Guru Besar Ilmu Pendidikan UNY, Yogyakarta)



Ketika penyusun buku ini meminta saya memberi kata pengantar, saya tertarik dengan judul buku yang ditawarkan: “Lâ-Taskut!”, jangan diam! Ada pertanyaan, kenapa judulnya berbentuk larangan (Nâhy), larangan untuk tidak bersikap pasif atau diam dalam berkomunikasi? Apa yang hendak ditawarkan buku“Lâ-Taskut!”? Satu hal yang ditegaskan secara eksplisit oleh penyusun adalah pentingnya inovasi dalam pembelajaran bahasa Arab, khususnya dalam metode percakapan (Muhâdatsah). Bahasa Arab bisa dipelajari oleh siapapun, bahasa Arab untuk semua.
Sementara ini, bahasa Arab dipelajari oleh kalangan terbatas; para santri di pondok pesantren, siswa madrasah, dan mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam. Sementara pihak lain yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama masih merasa sulit mempelajarinya.
Saya teringat sebuah diskusi dengan para lulusan pesantren salaf dan modern. Sebuah obrolan tentang sistem pembelajaran bahasa arab. Keduanya mempunyai keunggulan dan keterbatasan. Pesantren salaf memiliki keunggulan dalam mengeksplorasi referensi kitab dengan bekal pengetahuan gramatika yang memadai. Sementara pesantren modern unggul dalam komunikasi aktif.
Ketertarikan saya tidak terhenti pada perbedaan output, tapi juga pada semangat dan upaya kedua belah pihak dalam meningkatkan kualitas muhâdatsah. Salah satunya dengan mendatangkan native speaker guna menunjang program berbahasa Arab, serta mengirimkan lulusannya ke negara-negara Timur Tengah. Semuanya memberi kontribusi yang besar bagi pengembangan bahasa Arab.
Beberapa sekolah—Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah, dan perguruan tinggi Islam—telah memberlakukan wajib berbahasa Arab yang disertai dengan pemberlakuan zona bahasa. Secara formal, peraturan tersebut cukup ideal. Namun dalam praktiknya aturan itu sulit diterapkan. Kendala yang timbul antara lain; keterbatasan pengetahuan siswa dalam bahasa Arab, minimnya kesadaran akan pentingnya penggunaan bahasa Arab, belum tersedianya buku panduan muhâdatsah yang representasif, serta pengaruh lingkungan yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah dalam berkomunikasi sehari-hari. Di samping itu, tata tertib yang mengatur penggunaan bahasa yang ada terkadang belum ditunjang dengan sistem reward dan punishment. Sehingga program berbahasa belum berjalan secara optimal.
Untuk meminimalisir problem tersebut, khususnya yang terkait dengan peningkatan partsipasi aktif dalam berkomunikasi, ada beberapa formula yang perlu diterapkan, yakni;
Pertama, memberikan pandangan bahwa bahasa Arab itu mudah. Ini bukan bermaksud menyederhanakan permasalahan, tetapi untuk membangun sebuah persepsi bahwa bahasa itu bisa dipelajari dan mudah dipahami. Bukannya ditakuti selanjutnya dihindari. Yang dibutuhkan adalah keuletan serta pembiasaan (Mumârasah) dalam menggunakannya sehari-hari.
Kedua, pembelajaran bahasa Arab bukan hanya berupa presentasi materi an sich, akan tetapi bagaimana materi tersebut ditransmisikan ke peserta didik yang menjadikan paham. Tidak sekedar mendengarkan. Sebab, seringkali mereka mengeluh kesulitan, tetapi tidak berani bertanya. Sementara materi terus berlanjut, sehingga kebingungan semakin menumpuk. Ini perlu diatasi dengan sistem pembelajaran yang interaktif; guru menyampaikan materi, siswa memperhatikan dan memahaminya. Apabila ada materi yang tidak dipahami hendaknya guru memancing pertanyaan yang mengarah ke sana. Kemudian apabila diperlukan, keterangan bisa diulang untuk lebih memahamkan peserta didik.
Ketiga, memperjelas orientasi dan motivasi dalam belajar bahasa Arab. Ke manakah arah pembelajaran bahasa Arab ditujukan; untuk membantu memahami naskah, media komunikasi, atau profesi? Selama ini, motivasi belajar bahasa Arab dilandasi dalil normatif; bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an dan bahasa penduduk surga! Akan lebih menarik tentunya, apabila motivasi mempelajarinya adalah untuk menjadi jubir bahasa Arab, menulis buku berbahasa Arab, melanjutkan studi dan menjadi tenaga kerja di Timur Tengah, menjadi mufassir atau ilmuwan, penerjemah buku, ataupun penerjemah fauriyah (spontan). Sebuah motivasi yang mampu menggugah semangat berbahasa.
Keempat, membangun mentalitas. Dalam berbicara mutlak harus didukung dengan keberanian. Berani untuk selalu mencoba terus-menerus. Kesalahan bukan menjadi hal yang perlu ditakuti, tapi sebagai evaluasi. Sikap minder (inferior) harus dihindari. Percaya diri dan optimislah selalu. Sebab, setiap orang dianugerahi kesempatan yang sama untuk terampil, termasuk terampil dalam berkomunikasi bahasa Arab.
Kelima, membangun lingkungan berbahasa Arab (zona bahasa). Harus disadari bahwa kita mempelajari bahasa Arab di lingkungan yang bukan merupakan tempat bahasa tersebut lahir dan berkembang. Maka dibutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk lancar berbicara. Ini harus dimaklumi. Maka dengan dibentuknya zonase bahasa Arab, penggunaan bahasa Arab akan menjadi terbiasa. Ini harus dimulai dari individu. Jika dengan kesadaran individu tersebut mampu merambah kesadaran kolektif untuk berbahasa, niscaya dalam waktu relatif singkat kita mampu, tanpa harus studi ke luar negeri.
Keenam, inovasi, baik dalam metode maupun sistem. Dalam konteks ini, buku “Lâ-Taskut!” menyuguhkan sebuah inovasi yang apik dalam khazanah pembelajaran bahasa Arab. Tidak hanya secara sistematika, tapi juga isi dan metode yang digunakan.
Dalam hal sistematika, “Lâ-Taskut!” menggunakan cara penyajian yang berbeda. Percakapan disusun secara tematik sesuai dengan konteks dilakukannya percakapan tersebut. Pembagian tema percakapan sebagian besar tidak didasarkan atas tempat tertentu. Hal ini memudahkan pembaca untuk langsung mempraktikan percakapan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Apalagi penyusunannya dilengkapi dengan pola, variasi, ekspresi, dan transliterasi, sehingga semakin praktis. Bisa digunakan oleh siapapun dengan mudah.
Bila ditilik dari segi isi, buku ini memiliki nilai lebih. Tidak semata-mata mengetengahkan bahasa Arab fushâ, tetapi juga dilengkapi dengan bahasa ‘âmiyah (Colloquial Arabic) berikut budaya bahasa. Pembaca diajak mengenal khazanah bahasa Arab yang kaya. Ini akan memperkaya pengetahuan pembaca mengenai setting budaya bangsa Arab. Terasa lengkaplah bagi pembaca. Tak salah jika buku ini diberi judul “Lâ-Taskut!”. Selain menawarkan metode inovatif, praktis, dan komprehensif, buku ini juga memotivasi untuk selalu bicara.“Lâ-Taskut!” untuk semua, bahasa Arab untuk semua.

Yogyakarta, 24 Mei 2009